DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................... ...... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ...... ii
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................................ ...... 1
A.
Latar Belakang Masalah............................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................................... ...... 1
C.
Tujuan Pembahasan............................................................................................ ...... 1
BAB II. PEMBAHASAN............................................................................................. ...... 2
1. Biografi Ibn Sina........................................................................................................ 2
2. Karya-katya Ibn
Sina.................................................................................................. 8
3. Filsafat Ibn Sina.......................................................................................................... 9
BAB III. PENUTUP...................................................................................................... ...... 23
1. Kesimpulan.......................................................................................................... ...... 23
2. Saran.................................................................................................................... ...... 24
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam
sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal
unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga
memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya
filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap
dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
beberapa abad.
Pengaruh
ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang
ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang genius dalam menemukan metode-metode dan
alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni
dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam
sistem keagamaan Islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Siapakah Ibnu Sina?
2. Apa saja
karya-karya yang dihasilkan oleh Ibnu Sina?
3. Apa saja pemikiran filsafat yang
dikemukakan oleh Ibnu Sina?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah singkat
tentang Ibnu Sina.
2. Untuk mengetahui Karya-karya Ibnu Sina.
3. Untuk mengetahui pemikira filsafat yang di
kemukakan oleh Ibnu Sina.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al-Husein ibn Abdullah ibnal-Hassan ibnAli ibn
Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara)
pada 370 H (8-980 M). Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke
Bukhara pada masa raja Nuh ibn Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa
di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara. Di kota ini, ayahnya menikahi
Sattarah dan mendapat tiga orang anak, Ali, Husein (ibn Sina), dan Muhammad.
Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10
tahun telah mampu menghafal al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab, dan ia juga
hafal kitab Metafisika karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali,
kendatipun ia belum memahaminya sampai mempunyai ulasan Al-Farabi.[1] Pada
usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra Arab, fikih,
ilmu hitung, ilmu ukur,dan filsafat. Bahkan, ilmu kedokteran dipelajari
sendiri. Di antara guru-gurunya hanya Abu ‘abdullah al-Natili (dalam bidang
logika) dan Isma’il (seorang zahid) yang dikenal namanya. Pada usia 18 tahun ia
telah berprofesi di berbagai bidang, guru, penyair, filsuf, pengarang, dan
seorang dokter termasyhur sehingga diundang untuk mengobati sultan Samanid di
Bukhara, Nuh ibn Mansyur. Keberhasilannya tersebut merupakan perintis hubungan
baiknya dengan Sultan, sehingga ia diberi kesempatan untuk menelaah buku-buku
yang tersimpan di perpustakaan Sultan. Dengan daya ingatnya yang luar biasa,
Ibnu Sina dapat menghapal sebagian besar isi buku-buku tersebut. Hal itu
menjadi modalnya untuk menulis buku pertamanya tentang psikologi menurut metode
Aristoteles, dan dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Buku itu berjudul
Hadiyah al-Ra’is ila al-Amir.
Pada masa mudanya
ia tertarik pada aliran Syi’ah Isma’iliyah dan aliran kebatinan. Ia banyak mendengarkan percakapan antara tokoh-tokoh kedua
aliran tersebut dengan ayahnya atau kakaknya. Mereka berdiskusi mengenai
soal-soal akal pikran dan kejiwaan menurut cara mereka. Tetapi, sebagaimana
dikatakannya sendiri dalam auto biografinya, ia tidak dapat menerima
aliran-aliran tersebut dan menjauhinya. Hal itu menunjukan kemandirian berpikir
ibn Sina dan mengikuti mazhab sunnah maupun mazhab syi’ah. Ia muncul dengan mazhabnya
sendiri, yakni mazhab Sinawi. Jadi, amat sukar mendapatkan keterangan yang
pasti tentang corak mazhab yang dikembangkannya, apakah cendrung ke Syi’ah atau
cenderung ke Sunnah . Tampaknya, ibn Sina mempunyai pandangan tersendiri dan
mandiri dalam usaha menemukan hakikat kebenaran, baik di bidang filasafat
maupun bidang keagamaan.
Dalam usia 22 tahun ayahnya meninngal dunia. Musibah ini menjadi pukulan
berat baginya, sehingga ia dengan berat hati meninggalkan Bukhara menuju
jurjan, di mana ia berjumpa dengan Abu ‘Ubaid al–Jurjani kemudian menjadi salah
seorang muridnya, dan penulis sejarah hidupnya. Tetapi, ia tidak lama bermukim
di kota ini karena kekacauan politik, lalu ia pergi ke Hamazan. Di kota Hamazan
ini ia berhasil menyembuhkan penyakit Sultan Syams al-Daulah dari dinasti
Buwaihi (1015-1022). Atas jasanya ini, Sultan mengangkatnya sebagai Wazir
‘Azhim (perdana mentri) Rayyand. Namun tidak berapa lama memangku jabatan
tersebut, pihak militer menangkapnya dan merampas hartanya , serta berencana untuk
membunuhnya . Atas bantuan Sultan Syams al-Daulah, ia dikeluarkan dari penjara.
Lagi-lagi ibn Sina berhasil menyembuhkan penyakit perut (maag) yang di derita
oleh Sultan dan sebagai imbalannya, Sultan menobatkannya menjadi perdana
menteri kedua kalinya di Hamadan. Jabatan ini diembannya sampai Syams al-Daulah meninggal dunia.
Kemudian ia mengundurkan diri dan ingin pergi ke Isfahan untuk berbakti kepada
raja ‘Ala’u al-Daulah. Sebelum niat ini terlaksana, ia ditangkap Taj al-Muluk,
anak Syams al-Daulah, dan di penjara di benteng fardajan selama empat bulan. Ia
berhasil lari dari penjara Hamadan denga n cara manyamar ke Isafan, di mana ia
disambut dengan baik sekali.
Di antara filsuf Arab yang termasyhur di Barat, termasuk ibn Sina yang
dikenal avicenna atau disebut juga Aristoteles Baru. Kebesarannya
sebagai tokoh filsafat pada asalnya, terbukti ketika Al-Ghazali melancarkan
serangan terhadap pemikiran kaum filsuf, Al-Ghazali tidak menemukan tokoh
filsafat dihadapannya sekaliber Ibn Sina.
Pada akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Ishfahan dan
meninggal di Hamadzan pada 428 H (1037 M) dalam usia 57 tahun.[2]
Diberitakan, penyakit perut (maag) yang membawa kematiannya sebagai dampak dari
kerja kerasnya untuk urusan negara dan ilmu pengetahuan. Pada waktu siang ia
bekerja, malam ia membaca dan menulis hingga larut malam. Bulan-bulan terakhir
kehidupannya, ia berpakaian putih, menyedekahkan hartanya kepada fakir-miskin,
dan mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah.
Filsafat islam mencapai puncak
kecemerlangannya pada zaman hidupnya Syaikh Ar-Rais Abu ‘ Al-Husein bin
Abdullah Ibn Sina. Dialah filosof Islam yang paling banyak menulis buku-buku
ilmiah sampai soal-soal yang bersifat cabang dan ranting. Para filosof Islam
yang datang sesudahnya tidak mencapai kemajuan yang berarti, malaha sebagian
besar dari mereka itu hanya menguraikan buku-buku yang ditulis oleh Ibn Sina,
seperti Ar-Razi dan At-Thusi misalnya. Pada zamannya, filsafat islam
mencerminkan kepribadian Ibn Sina sehingga ia menjadi sasaran serangan kalangan
yang mengecam filsafatnya dan menghendaki kehancurannya.
Kalau al-kindi seorang Arab dan
Al-Farabi seorang Turki, maka Ibn Sina adalah orang Persia. Semuanya itu
menunjukkan corak universal peradaban Islam. Hal itu dimungkinkan oleh agama
yang melandasi filsafat itu sendiri, Islam, dan berkat bahasanya, yaitu bahasa
Arab.
Kalau Istana Khalifah Al-Mu’tashim
Billah diperindah oleh Al-Kindi dan karya-karyanya, dan istana Saifud-Daulah
dihiasi oleh Al-Farabi beserta hasil pemikirannya; maka daulat Bani Buweih di
Persia yakni pada akhir abad ke-4 dan awal abad ke-5 Hijriah, mengenal Ibn Sina
dengan nama julukan As-Syaikh. Ketika
itu Sultan Mahmud Al-Ghaznawi ingin menarik Ibn Sina ke istananya di Afghanistan,
tetapi Ibn Sina menolak dan lebih suka tetap tinggal di Persia. Akan tetapi
kemudian ia meninggalkan Bukhara dan pergi menuju istana Sultan ‘Ali bin
Al-‘Abbas di Khawarizm (Turkistan). Disana ia bertemu dengan banyak ulama dan
kaum cendikiawan. Antara lain Abu Raihan Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi dan
Abu-Khair Al-Khammar.Ketika itu Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi dan Abu Khair
Al-Khammar. Ketika itu Al-Biruni telah menempati kedudukan Abu Ma’syar dalam
ilmu falak (astronomi), Abu-Khair Al-Khammar telah menjadi orang ketiga dalam
ilmu kedokteran sesudah Hippocrate dan Galenus. Sedangkan Ibn Sina dan Abu Al
Sahl Al-Masihi merupakan dua sejoli dalam ilmu hikmah (filsafat) sesudah
Aristoteles, menyinggung perihal mereka, Al-‘Idzami Al’Arudhi mengatakan dalam
bukunya Jihar Maqalah (Ucapan Terus-terang) sebagai berikut: “Kelompok
itu tidak membutuhkan soal-soal keduniaan di dalam istana. Satu sama lain asyik
berdialog dan merasa senang dengan tukar menukar karya tulis , Sultan Mahmud
Al-Ghaznawi berkirim surat minta supaya mereka bersedia tinggal di istananya
sebagai kehormatan dan untuk mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan yang
mereka miliki, Akan tetapi Ibn Sina menolak, lantas lari ke Jurjan (teletak di
sebelah tenggara Laut Kaspia) dan tinggal di istana Amir (pangeran) Qabus.”
Dalam autobiografi Ibn Sina
memulainya dengan mengatakan : “Ayahku seorang penduduk Balakh. Ia pindah ke
Bukhara pada zaman pangeran Nuh bin Manshur”. Ia menulis autobiografinya dengan
baik dan disempurnakan kemudian oleh muridnya, Al-Jurjani, Singkat kata pada
usia 10 tahun ia telah menyelesaikan pelajaran Al-Qur’an, sastra dan bahasa
Arab. Kemudian ia belajar ilmu Fiqh pada seorang guru bernama Isma’il yang
terkenal sebagai orang yang hidup zuhud (menjauhi kesenangan duniawi). Di samping itu
ia juga belajar matematika dan ilmu ukur pada ‘Ali Abu’ Abdullah An-Natili.
Setelah itu ia belajar sendiri dengan membaca berbagai buku, termasuk buku-buku
Syarh hingga menguasai ilmu semantik. Tidak ketinggalan pula ia
mempelajari buku Ocledus mengenai ilmu ukur (geometri) dan buku-buku lain
tentang ilmu kedokteran, Dalam usia delapan belas tahun ia telah selesai
mempelajari semua ilmu tersebut.
Sebuah cerita mengatakan bahwa pada
masa itu ia hafal isi buku Metaphysica di luar kepala tanpa memahami
kandungan maknanya hingga saat ia menemukan buku Al-Farabi yang menerangkan
maksud tulisan Aristoteles. Setelah itu barulah ia dapat memahami perumusan
kalimatnya. Kenyataan itu membuat Ibn Sina mengakui kedudukan Al-Farabi
sesbagai kedua Guru Kedua.
Ketika pindah ke Bukhara ia dipanggil
oleh sultan Nuh bin Manshur untuk mengobati penyakitnya, dan ternyata ia
berhasil menyembuhkannya. Kejadian ini merupakan awal-mula hubungannya
kesempatan kepadanya memeriksa ribuan buku yang tersimpan di dalam
perpustakaannya Dengan kekuatan daya-ingatnya yang luar biasa ia dapat
menguasai isi sebagian besar buku-buku tersebut. Kemudian ia menulis bukunya
yang pertama untuk pangeran Nuh, perihal psikologi menurut metode Aristoteles.
Buku tersebut diberi judul Hidayyatur-Ra’is Ilal-Amir (Hadiah Ibn Sina kepada
Amir). Buku tersebut berisi pembahasan tentang kekuatan-kekuatan psikologis.
Buku yang lain tentang psikologi di tulisnya dalam bentuk risalah kecil. Banyak
sekali buku-buku karyanya yang memadukan ilmu filsafat dengan ilmu kedokteran.
Tentang filsafat ia menulis buku Kitabusy-Syifa (Buku Penyembuhan) dan
mengenai kedokteran ia menulis buku Al-Qanun. Buku Asy- Syifa membagi
ilmu menjadi empat golongan, yaitu: ilmu semantik,ilmu alam, ilmu pasti dan
ilmu ketuhanan yang kemudian diringkas dalam sebuah buku berjudul An-Najat
(Keselamatan). Buku ini terkenal dan masih beredar hingga dewasa ini.
Sejak diselenggarakannya
Mu’tamarusy-Syeikh di Baghdad pada tahun 1952 untuk memperingati genap 1000
tahun hari lahir Ibn Sina, sebuah Panitia Khusus di Mesir yang terdiri dari
para peminat filsafat mengambil prakarsa menerbitkan Kitabusy-Syifa secara
ilmiah. Pertama diterbitkan buku semantiknya, yang terdiri dari sembilan buah
buku. Kemudian diterbitkan buku-bukunya yang lain, tentang masalah ketuhanan
dan musik. Dengan diterbitkannya juga dalam buku-buku tersebut orang dapat
dengan mudah mempelajari filsafat Ibn Sina yang mengikuti jejak Aristoteles (Masysya’iyyah)
dan menjurus ke arah filsafat Isyraqiyyah yang cenderung kepada sufisme.
Pandangan tersebut oleh Ibn Sina dituangkan dalam bukunya yang berjudul
Al-Isyarat dan dalam beberapa karyanya yang belum pernah diterbitkan, yaitu
filsafat Masraqiyyah.
Buku Qanun Ibn Sina terbagi dalam
lima jilid, Masing-masing berisi soal-soal yang berkaitan dengan ilmu
kedokteran, seperti pengetahuan tentang fungsi bagian-bagian tubuh, pembedahan
dan pengebotan. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan sampai
abad ke-17 Masehi masih merupakan buku pegangan bagi berbagai unversitas di
Eropa. Di samping buku tersebut, telah diterjemahkan pula sebagian besar dari
buku Asy-Syifa lewat buku itu filsafat Ibn Sina menembus ke negeri-negeri
Eropa, sampai Thomas Aquinas sendiri terpengaruh olehnya.
2. Karyanya
Pada usia 20 tahun ia telah menghasilkan
karya-karyanya cemerlang,dan tidak heran kalau ia menghasilkan 267 karangan.
Kesuburan hasil karya ini disebabkan karena beberapa faktor. Kualitas karya dan
keterlibatannya dalam praktik kedokteran, mengajar, dan politik, semuanya
menunjukkan tingkat kemampuan yang luar biasa.[3]
a.
Ia pandai mengatur waktu, di mana siang untuk disediakan untuk
pekerjaan pemerintahan, sedang malamnya untuk mengajar dan mengarang, bahkan
lapang kesenian pun tidak di tinggalkannya. Kalau hendak berpergian, maka
kertas dan alat-alat tulislah yang pertama diperhatikan dan kalau sudah payah
dalam perjalanan, maka duduklah ia berpikir dan menulis
b.
Kecerdasan otak dan kekuatan hafalan juga tidak sedikit artinya
bagi kepadatan karyanya. Sering- sering ia menulis tanpa memerlukan
buku-bukunya referensi dan pada saat kegiatannya tidak kurang dari lima puluh
lembar yang di tulis sehari-harinya.
c.
Sebelum ibnu Sina telah hidup al-farabi yang juga mengarang dan
mengulas buku-buku filsafat. Ini berarti al-farabi telah meratakan jalan
baginya, sehingga tidak banyak lagi kesulitan- kesulitan yang dihadapinya
terutama dalam soal-soal yang kecil.
Karangan- karangan ibnu Sina:
1. Asy-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang
terpenting yang terbesar dari Ibnu Sina, dan terdiri empat bagian, yaitu,
logika, fisika, matematika, dan metafisika, (ketuhanan). Buku tersebut
mempunyai beberapa naskah yang tersebar diberbagai perpustakan di Barat dan
Timur. Bagian
ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu
di Teheran. Pada tahun 1956 M lembaga ke ilmuan Cekoslovakia di
Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian fisika yang khusus mengenai ilmu
jiwa, dengan terjemahnya ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch
bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1954 M, dengan nama Al-burhan, di
bawah asuhan Dr. Abdurrahman
Badawi. Adapun kata Al–syfa, latinnya Sanatio
(penyembuhan), ensiklopedi yang terdidi dari 18 jilid mengenai fisika,
matematika, dan metafisika, kitab ini di tulis pada waktu menjadi menteri Syams
al-daulah dan selesai masa Ala’u al- Daulah di Isfahan.
2.
Al-Najat,
latinnya Salus (penyelamat), keringakasan dari al-syifa, dan pernah diterbitkan
bersama-sama dengan buku al-qonun dalam ilmu kedokteran pada
tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir
3. Al-Isyarah
wa al-Tanbihah
(isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah. Buku ini adalah buku yang terakhir dan yang
paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892, dan sebagiannya
di terjemahkan ke dalam bahasa Prancis, kemudian diterbitkan lagi di kairo pada
tahun 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia.
4.
AL-Hikmat al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan
orang, karena tidak jelasnya maksud juduk buku, dan naskah-naskahnya yang masih
ada memuat bagian logika. Ada
yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf, tetapi menurut Carlos
Nallino, berisi filsafat timur sebagai imbangan dari filsafat barat.
5.
Al-Qanun, atau
canon of medicine, menurut penyebutan orang-orang barat. Buku ini pernah diterjemahkan
ke dalam bahsa latin dan pernah menjadi buku standar untuk
Universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ketujuh belas Masehi, dan di
india tahun1323 H. risalah-risalah lain yang banyak jumlahnya dalam lapangan
filsafat,etika, logika, dan psikologi.
6.
Hidayah al-Rais li al-Amir.
7.
Risalah fi alkalam ala al-Nas
al-Nathaqiyah, dan
8.
Al-Manthiq al-Masyriqiyyin (logika Timur).
3. Filsafat Ibn Sina
a. Metafisika
Dalam masalah metafisika, Ibn Sina sebagai salah seorang filsuf
eksistensial sepaham dengan Aristoteles. Dia mendefinisikan bahwa metafisika
itu adalah pengetahuan adalah pengetahuan tentang segala yang ada sebagaimana
adanya dan sejauh yang dapat diketahui oleh manusia. Dia mengklasifikasikan
yang ada menjadi dua, yaitu wajibul wujud dan mumkinul wujud. Dalam
filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi tiga tingkatan. Pendapatnya
itu memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut:
1. Wajib al-wujud
Esensi yang mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak dapat dipisahkan
dari wujud, keduanya sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada,
kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
2. Mumkin al-wujud
Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh juga tidak berwujud. Dengan
istilah lain, jika dia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada maka tidak
mustahil, yakni boleh ada boleh juga tidak ada.
Dengan demikian, dalam menetapkan yang pertama (Allah) kita tidak perlu
memerlukan perenungan sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan
salah satu makhluk-Nya, namun pembuktian dengan dalil di atas lebih kuat, lebih
lengkap dan sempurna. Kedua macam pembuktian telah digambarkan dalam Al-Qur’an
dalam surat Fusshilat ayat 53 yang berbunyi:
سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي
أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ
أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدُ
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami
pada alam semesta dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka
bahwa Tuhan menyaksikan segala sesuatu “.
Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi dan Ibn Sina juga
menyucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensi-Nya karena
Allah Maha Esa dan Mahasempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri atas
bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat
Allah menjadi pluralitas (ta’addud al-qudama). Ibn Sina berpendapat bahwa ilmu
Allah hanya mengetahui yang universal di alam dan dia tidak mengetahui yang
parsial. Ungkapan terakhir ini dimaksudkan Ibn Sina bahwa Allah mengetahui yang
parsial di alam ini secara tidak langsung, yakni melalui zat-Nya sebagai sebab
adanya alam.
Berkaitan dengan metafisika, Ibn Sina juga membicarakan sifat wujudiah
sebagai yang terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain,
walaupun esensi sendiri. Esensi, dalam paham Ibn Sina terdapat dalam akal,
sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang
dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar
artinya. Esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut:
1. Esensi tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibn
Sina yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. Contoh, adanya sekarang ini juga
kosmos lain di samping kosmos yang ada.
2. Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud.
Contoh, alam ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan akhirnya akan
hancur menjadi tidak ada.
3. Esensi yang tak boleh tida mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa
dipisahkan dari wujud, esensi dan wujud adalah sama dan satu. Yang serupa ini
disebut mesti berwujud yaitu Tuhan.
Dengan demikian, Tuhan adalah unik dala arti, Dia adalah Kemaujudan yang
Mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan Tuhan.
Kemaujudan yang Mesti itu harus satu. Nyatanya,walaupun di dalam Kemaujudan ini
tak boleh terdapan kelipatan sifat-sifat-Nya, tetapi Tuhan memiliki esensi lain, tak ada atribut-atribut
lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibn Sina
dengan mengatakan bahwa esensi Tuhan identik dengan keberadaan-Nya yang mesti
itu. Karena Tuhan tidak beresensi, maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat didefinisikan.
Sebagai pendiri Neo-Platonisme Arab dan tokoh pertama dalam gerakan
filosofis tersebut sejak Proclus (tokoh terakhir dari Barat), Ibn Sina tentu
menganut paham emanasi. Ia berpendapat bahwa dari Tuhan memancar Akal Pertama.
Sekalipun Tuhan terdahulu dari segi zat, namun Tuhan dan Akal Pertama adalah
sama-sama azali.
Akal bersifat tetap dan terasing dari falak, sedangkan jiwa berhubungan
langsung dengan falak. Tuhan adalah al-khair al-Mutlak disebut al-Isyq
al-Mutlak dan Akal hanyalah al-Khair yang menjadi tujuan dari segala gerakan
falak untuk kesempurnaan dirinya. Kerinduan jiwa falak kepada al-Khair disebut
al-Isyq al-Mutlak. Rindu inilah yang menyebabkan terjadinya bermacam-macam
peristiwa dan berlangsungnya berbagai macam hal.
b. Jiwa
Menurut Ibn Sina, munculnya jiwa atau nyawa (vital principle) sebagai “daya
adijasmani” berawal dari persenyawaan elemen-elemen primer kehidupan di bawah
pengaruh benda-benda langit. Yang pertama kali muncul adalah jiwa nabati,
diikuti oleh jiwa hewani, dan diakhiri oleh jiwa manusiawi. Jiwa nabati
didefinisikannya sebagai dasar pertumbuhan dan reproduksi; jiwa hewani sebagai
dasar gerak (kehendak) dan penangkapan terhadap rangsangan-rangsangan
partikular dan jiwa manusiawi sebagai dasar pertimbangan dan pemahaman terhadap
hal-hal yang universal.
Ibn Sina lantas memberikan definisi umum tentang jiwa menggunakan kata-kata
Aristoteles sebagai “kesempurnaan pertama dari benda organik yang alami”.[4] Sebagai
daya-cerap terhadap hal-hal yang partikular dan bergerak sesuai dengan
kehendak, ia disebut jiwa hewani; sebagai daya unutk mencerap hal-hal universal
dan bertindak atas dasar pertimbangan dan pilihan, ia disebut jiwa manusiawi;
dan sebagai daya untuk melahirkan, bertumbuh-kembang, dan mereproduksi
sejenisnya, ia disebut jiwa nabati.
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibn Sina ialah falsafahnya tentang
jiwa.[5] Di dalam
masalah kejiwaan, Ibn Sina termasuk penganut faham dualisme (sanawiyah). Bagi
Ibn Sina, substansi itu berlainan sama sekali dari materi tubuh, meskipun ia
berasal dari pokok yang sama yakni Akal Fa’al, tetapi ia mempunyai
perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
Ada tiga dalil pembuktian yang dikemukakan oleh Ibn Sina tentang substansi
jiwa tersebut.
a) Saat manusia merenungkan dirinya, pada waktu itu secara sadar ia mengenal
bahwa dirinya “ada” selama hidupnya.
b) Bila seseorang menghadapi suatu persoalan secara serius, ia akan
menumpahkan segenap perhatiannya pada persoalan tersebut. Pada waktu itu, ia
merasa dirinya bebas dari raga sehingga ia berani berkata saya akan berbuat
begini begitu tanpa merasa terikat dengan raga.
c) Manusia mampu menghimpun secara sadar akan aktivitas-aktivitas fisik
organisme yang dilakukannnya tanpa kesulitan. Pengenalan terhadap
aktivitas-aktivitas fisik menjadi bukti bahwa niwa berbeda dari fisik.
Untuk membuktikan adanya jiwa, Ibn Sina mengajukan beberapa argumen, yakni:
1) Argumen psikofisik
2) Argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
3) Argumen kontinuitas, dan
4) Argumen manusia terbang di udara
Untuk membuktikan argumen pertama,Ibn Sina mengatakan bahwa gerak dapat
dibedakan kepada gerak terpaksa, yaitu gerak yang didorong oleh unsur luar, dan
gerak tidak terpaksa. Gerakan tidak terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan
hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
Untuk membuktikan unsur argumen yang kedua, Ibn Sina membedakan aku dan
jiwa. Aku dalam pandangan Ibn Sina bukanlah fenomena fisik, tetapi jiwa dan
kekuatannya. Dan untuk membuktikan bahwa jiwa itu tidak putus adalah dengan
daya ingat manusia tentang masa-masa yang telah lewat, baik metuapak tingkah
laku maupun hal ihwal di sekitarnya. Adapun pembuktian keempat, Ibn Sina
mengatakan bahwa wujud dirinya tidak timbul dari indera melainkan dari sumber
yang berbeda sama sekali dengan badan, yaitu jiwa.
Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah
bulan, memancar dari akal 10. Sebagai aristoteles, Ibn Sina membagi jiwa dalam
tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya: makan, tumbuh, dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang dengan daya-daya:
a. Gerak ,
b. Menangkap.
3. Jiwa manusia dengan dua daya:
a. Praktis yang hubungannya adalah dengan badan.
b. Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak.
Sifat seorang manusia bergantung pada jiwa manusia dari ketiga macam jiwa
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat
menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas
dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Apabila jiwa telah mencapai
kesempurnaannya, maka badan tidak diperlukan lagi bahkan menjadi penghalang
mewujudkan kesempurnaan. Sejalan dengan terpisahnya antara badan denagn jiwa
tersebut, maka jiwa manusia tidak mesti hancur dengan hancurnya badan. Tetapi
jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang yang terdapat dalam diri manusia, karena
hanya mempunyai fungsi-fungsi yang bersifat fisik akan mati dengan matinya
badan dan tak akan di hidupkan kembali di akhirat. Balasannya u tuk kedua jiwa
ini pun dicukupkan di dunia saja. Berbeda dengan jiwa manusia yang bertujuan
pada hal-hal yang abstrak akan dihidupkan kelak di akhirat.
Untuk membedakan hakikat jiwa dan jasad, Ibn Sina mendefinisikan jiwa
dengan jauhar rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan
substansi rohani, tidak tersusun atas materi-materi sebagimana jasad. Kesatuan
antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa hancurnya jiwa
(roh).
Menurut Ibn Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya
juga saling memengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa,
adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa
tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak
demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad
ditempati beberapa jiwa.
c. Kenabian
Tahapan mistis ialah apabila jiwa sudah ketak berhinggaan, menjalin
hubungan dengan Intelek Aktif sehingga tak lagi perlu menjalani proses
silogistik untuk bisa menangkap hal-hal universal, tetapi cukup dengan intuisi.
Ibn Sina mengibaratkan tahap ini sebagai tahap “profesi” atau tahap
berfungsinya “nalar suci”.
Tak pelak, ini metupakan puncak kemampuan intelek manusia, yang hanya ada
pada para filosof dan Nabi. Berkat kemampuan ini, seorang Nabi dapat mengetahui
segala sesuatu secara intuitif, mempersepsi aneka bentuk dan representasi
audiovisual, mencandrakan masa depan dan mempengaruhi peristiwa fisik secara
ajaib (miraculously).[6] Bagi Ibn
Sina, nalar suci termaksud tak lain dari sebentuk intelek habitual, yang
mengerucut pada intelek capaian. Sifat yang mencolok dari psikologi Ibn Sina
adalah tatanan hierarkisnya, yang di dalamnya kemampuan yang rendah selau patu
pada kemampuan yang lebih tinggi. Maka dari itu, pancaindra selalu patuh pada
kemampuan batin, dan kemampuan batin selalu patuh pada kemampuan rasional.
Pendapat Ibn Sina tentang Nabi bertitik tolak dari tingkatan akal. Akal
materil sebagai yang terendah adakalanya di anugerahkan Tuhan kepada manusia
akal materil yang besar lagi kuat, oleh Ibn Sina dinamakan intuisis. Daya yang
ada pada akal materi serupa ini begitu besarnya sehingga tanpa melalui latihan,
denagn mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat
menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai sifat suci.
Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, yaitu bentuk akal
yang ada pada Nabi-nabi.
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina memebagi manusia
ke dalam empat kelompok:
1) Mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang
sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia,
2) Mereka yang memiliki kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak
yang demikian rupa sehingga berkat
kecakapan imajinatif mereka yang tajam, mereka mengambil bagian secara langsung
pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan masa akan datang dan
berkemampuan untuk menimbulkan gejala-gejala aneh di atas dunia,
3) Mereka yang memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai
daya imajinatif,
4) Terakhir, adalah orang-orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam
ketajaman daya praktis mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang nabi,
yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian
kuat sehingga ia harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan
juga seluruh materi pada umumnya. Nabi juga harus mampu melontarkan suatu
sistem sosial-politik. Fungsi imajinasi kenabian yang berupa lambang dan hidup
ini ditekankan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina, namun oleh Ibn Sina hal itu lebih
rinci lagi, bahwa sifat dasar imajinasi untuk melambangkan dan menghidupkan
pemikiran-pemikiran kita, keinginan-keinginan kita, dan bahkan
keterbatasan-keterbatasan psikologi kita. Contoh kecilnya, jika kita lapar,
imajinasi kita menyuguhkan di hadapan kita imaji-imaji yang hidup tentang
makan.
Pelambangan dan pemberian sugesti ini, apabila ini berlaku pada jiwa dan
akal nabi, menimbulkan imaji-imaji yang sedemikian kuat dan hidup sehingga
apapun yang dipikirkan dan dirasakn oleh jiwa nabi, ia benar-benar mendengar
dan melihatnya. Itulah sebabnya ia “melihat” malaikat, dan “mendengar”
suaranya. Wahyu-wahyu yang terkandung di dalam kitab-kitab suci keagamaan
sebagian besar berupa perintah dan keharusan kiasan, sehingga perlu ditafsirkan
untuk mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi, mendasar, dan spiritual. Dengan
demikian, wahtu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia beramal dan
menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham
belaka.
d. Tasawuf
Mengenai tasawuf, menurut Ibn Sina tidak dimulai dengan Zuhud, beribah dan
meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sufi sebelumnya.
Ia memulai tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan
hati dan pancaran akal, lalu akan akan menerima ma’rifah dari Akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dengan manusia atau bertempatnya Tuhan di hati
manusia tidak diterima oleh Ibn Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada
Tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat
bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali perhubungan antara manusia
dengan Tuhan saja. Karena manusia mendapat sebahagiaan pancaran dari
perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak langsung keluar dari Allah,
tetapi melalui Akal fa’al.
e. Hukum
Sebab Musabab[7]
Ibn Sina menggambarkan sebab atau wakil di mulai
dengan sebab ini. mutakallimun berpendapat bahwa pencipta alam adalah sebagai
akibat dari atau hasil dari tuhan yang bertindak sebagai pencipta. Pendapat ini digunakan berbagai istilah dalam bahasa arab yang artinya sama
dengan penciptaan, penghasilan, pembuatan, pekerjaan, pembawaan kepada wujud dan lain–lain.
Seperti arsitek, sebelum arsitek membuat rumah, rumah itu tidak ada, kalau
rumah itu sudah ada berarti rumah itu sudah tidak membutuhkan lagi wakil atau sebab
untuk ada. Penciptaan alam oleh tuhan berbeda dengan pembuatan sebuah rumah
oleh arsitek:
a. Rumah kalau sudah
dibangun ia tidak perlu lagi wakil, sedangkan alam selamanya perlu wakil.
Sesudah dia diciptakan, ia butuh terus kepada tuhan.
b. Wakil adalah dalam waktunya mendahului dari rumah itu. Dengan
perkataan lain, sebab mendahului perbuatan
dalam segala perbuatan yang terjadi dalam alamTuhan adalah sebab yang efisien
dari alam, tidak perlu didahului oleh waktu. Dengan kata lain ibnu sina memandang antara sebab dan akibat, walaupun
bagaimana sebab itu, datang juga dari sebab.
Ibnu sina mengarang sebuah karangan tentang Al-Isyk
(Kehendak). Dia berkata : “kehendak adalah unsur murni dari wujud. Kemudian
wujud makhluk dijelmakan oleh kehendak dan bersatu dengan dirinya sendiri atau
wujud dan kehendaknya adalah sama”. Dalam bagian ini ibnu sina berkata :
“teranglah, bahwa dalam setiap makhluk terdapat suatu kehendak batin. Kehendak
batin ini dengan kebutuhannya menjadi sebab dari penciptanya. Setiap unsur
ditemani kehendak batin yang senantiasa kelihatan padanya, yang menyebabkan
wujudnya”. Pengertian ini menjadi bentuk filsafat cahaya akal dari ibnu sina.
Pendiriannya yang menolak gambaran tuhan sebagai wakil sebab, memungkinkan
orang tuk mempelajari pendiriannya tentang Tuhan Maha Mengatur.
f. Tuhan Maha mengatur dan Maha Tahu[8]
Diterangkan dalam kitab Al-Isyarat :”Maha tahu adalah
perwakilan dalam undang alam semesta, dalam pengetahuan abadi, dalam suatu
waktu tertentu”. Undang pelimpahan tuhan dalam bentuk hirarki dan kekhususan
adalah dengan pelimpahan rasionil. Keterangan tersebut menyebabkan orang dapat
melihat bagaimana ibnu sina menguraikan tentang sifat Maha Tuhan dan mengenai
baik dan buruk. Orang akan merasa pesimis dan memberikan uraiannya bahwa antara
baik dan buruk, baiklah yang akan menang. Tuhan menghendaki baik oleh karena
itu ia menyempurnakan wujud-Nya. Makhluk adalah baik dan kesempurnaan makhluk
itu adalah terdapat dalam segala makhluk. Karena segala kebaikan dan kesempurnaan
datang dari tuhan. Sebab tuhan itu mempunyai sifat Rahman dan Rahim, ia akan
menjelma dalam setiap yang dikuasaiNya.
Ibnu Sina menggambarkan tentang pengertian benda itu
sebagai seorang perempuan yang tidak cantik yang memakai topeng sehingga dia tampak
cantik sekedar untuk menutupi ketidakcantikannya. Oleh karena itu, perempuan
tidak dapat terpisah dari topeng tersebut, topeng tersebut memberi kecantikan padanya.
Tuhan sebagai puncak makhluk, maka tuhan pula merupakan puncak rupa depan yang
memberi nikmat. Kita harus
mengenal tuhan sebagai wakil sebab. Nafsu adalah sebab akhir dari makhluk yang mencoba memperoleh
kesempurnaan dan kebaikan.
Undang alam semesta adalah sebaik–baik undang makhluk,
dan dunia kita adalah sebaik–baik alam yang dapat difahamkan oleh otak manusia.
Selama dunia ini tersusun dari kebutuhan dan kemungkinan, dunia ini terjadi
dari benda bentuk, potensi dan hakikat, kejahatan selamanya aka nada, kejahatan
lebih sedikit daripada kebaikan dan kejahatan itu bersifat negative dan kebaikan
itu bersifat positif. Kejahatan timbul dari makhluk sendiri.
Pengetahuan manusia terbatas, dia tidak dapat
mengerti hikmah yang berada dalam kejahatan tuhan tidak melihat kepada sesuatu
pendirian kita yang terbatas, akan tetapi tuhan memandang secara keseluruhannya
terletak dalam aturan hirarki yang turun dari tuhan. Untuk membuktikan bahwa
tuhan maha mengetahui, ibnu sina pernah menghadapi tiga buah pernyataan yang
berlawanan, yaitu :
a.
Tentang pendirian filsafat aristoteles yang mengatakan
bahwa tuhan berada diluar alam.
b. Tesis Alqur’an yang mengatakan : “tuhan adalah maha tahu akan segala yang
tidak terlihat. Tidak ada sebutir atom atau lebih kecil dari itu atau lebih
besar di langit dan di bumi yang tersembunyi kepada-Nya, itulah seterang–terangnya
bukti” (Surat 34/4)
c.
Tentang pendapat Plato dan Neoplatenis, yang
mengatakan bahwa tuhan adalah prinsip pertama, Yang Esa dan Dia jauh dari apa
yang dapat disifatkan oleh pengetahuan , sebab dengan meletakkan kepada Tuhan
pengetahuan. Dia mempunyai sifat yang rangkap yaitu tahu dan pengetahuan.
Dalam An-Najat ibnu sina berkata : “Kebenaran pertama,
jika ia tahu dirinya sendiri, dia tahu bahwa Dia adalah dasar pertama dari
makhluk dan segala sesuatu yang keluar daripada-Nya”. Putusan paham ibnu sina
diberikannya, bahwa ilmu Tuhan tentang kekhususan adalah didasarkan pada pokok
pelajaran sebab musabab. Segala sesuatu berkehendak kepada hubungan sebab dan
akibat.
g. Pandangan Tentang Akal[9]
Menurut ibnu sina akal merupakan suatu kekuatan yang
terdapat dalam jiwa. Ada dua macam akal yaitu : akal manusia dan akal aktif.
Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk mencari kebenaran
disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah semua pemikiran manusia yang
mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan. Ibnu sina juga
terkenal dengan rumusannya yaitu : akal (pemikiran) membawa alam semesta ini
kedalam bentuk– bentuk. Rumusan ibnu sina diambil alih oleh seorang pendeta
Dominican Albertus Magnus (1206 - 1280) yang dikemukakan di dunia barat.
Pengaruh filsafat Ibnu Sina:
Banyak sekali pengaruh yang ditimbulkan oleh pemikiran Ibn Sina,
diantaranya:
Pertama, beliau menentang pemikiran kaum sufi ortodoks dengan tidak
meninggalkan keduniaan sehingga melahirkan kaum sufi modern.
Kedua, hasil karya beliau dijadikan standar kurikulum di universitas Eropa.
Ketiga, dalam bidang pendidikan, Mahmud Yinus mengatakan bahwa Ibn Sina
mengajukan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru, yakni tenang,
tidak bermuka masam, tidak berolok-olok di hadapan murid dan sopan santun.[10]
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filsuf sebelumnya,
semisal Ak-Kindi dan Al-Farabi, Ibn Sina berhasil menyusun sistem filsafat
islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan terbesar yang dilakukan oleh
Ibn Sina adalah menjawab berbagai persoalan fislafat yang tak terjawab
sebelumnya. Pengaruh pemikiran filsafat Ibn Sina, seperti karya pemikiran dan
telaahnya di bidang kedokteran, tidak hanya tertuju pada dunia islam, tetapi
merambah ke dataran Eropa. Filsafat metafisika Ibn Sina adalah ringkasan dari
tema-tema filsuf yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir
Barat.
Pengaruh dan kontribusi Ibn Sina tampak dalam sejarah filsafat abad
pertengahan yang menganggapnya sebagai yang unik dan memperoleh pengahargaan
yang semakin tinggi hingga masa modern. Keunikan Ibn Sina ini dibuktikan dengan
kempuannya memengaruhi agama-agama lain di abad pertengahan selain dunia Islam
sendiri, seperti fenomena perumusan kembali teologi Katolik Roma yang dilakukan
oleh Albert Yang Agung, terutama oleh Thomas Aquinas yang secara mendasar
terpengaruh oleh Ibn Sina.[11]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Ibn Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagianUzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif
dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan
Diantara karya dari ibnu
sina yang terpenting adalah
1) Al – syifa’ latinnya sanatio (penyembuhan)
2) Al- Najah, latinnya salus (penyelamat),
keringkasan dari as-Syifa’.
3) Al-Isyaroh wa al-tanbihah (isyarat dan peringatan),
mengenai logika dan hikmah.
4) Al-Qonun fi al-tibb, ensiklopedi medis dan
setelah diterjemahkan dalam bahasa Latin menjadi buku pedoman pada
Universitas-Universitas di Eropa sampai abad XVII
5) Al-Hikmah al-‘Arudhiyyah
6) Hidayah al-Rais li al- Amir
7) Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiyah
8) Al-mantiq al-Masyriqiyyin (Logika timur)
Ibnu sina juga
mengemukakan pemikirannya tentang filsafat,antara lain :
1) Filsafat Metafisika
2) Filsafat jiwa
3) Filsafat kenabian
4) Filsafat tasawuf
5) Hukum sebab musabab
6) Tuhan maha pengatur dan
maha tahu serta
7) Pandangan hidup tentang
akal
2.
Saran
Makalah yang memuat pembahasan tentang
Filsafat Ibn Sina ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Maka kami
membutuhkan kritik dan saran atas kesempurnaan makalah ini di masa yang akan
datang. Makalah ini hanyalah sebatas tugas mata kuliah akan tetapi, insya Allah
dibalik semua ini ada manfaat bagi kami khususnya dan umumnya bagi semua
pembaca. Oleh karena itu, apa yang kami kutip dari berbagai literature buku, dan
referensi lain, kemungkinan besar masih belum sempurna apabila ditinjau dari
cara mengambil pemahamannya. Maka
litertaur yang lain, sangatlah membantu untuk peningkatan makalah pada tugas yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2001.
Dedi Supriadi.
Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Ahmad Fuad
Al-Ahwani. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Oemar Amin
Hoesin. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Sudarsono. filsafat islam jakarta: Rineka cipta, 2004.
[1]) Ahmad Fuad al-Ahwani, Ibn Sina (kairo: Dar
al-Ma’arif) hal.20
[2]) De Boer, hal, 166
[3] Shams Inati, “ Ibnu Sina”
dalam Eksiklopedia Tematis Filsafat Islam (Editor:Sayyed Hosen Naser &
Oliver Leaman) (Bandung: Mizan, 2003),hlm.286.