KATA PENGANTAR
Segala puji hanyalah milik Allah, Tuhan semesta
alam, semoga salawat dan salam dilimpahkan sebanyak-banyaknya kepada rasul yang
termulia, Nabi Muhamad Ibnu Abdullah.
Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan Makalah “Pemikiran
Filsafat Al-Farabi” guna untuk
memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam”
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas
ilmu tentang Pemikiran Filsafat Al-Farabi,
yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai referensi. Telah kami
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Unutk itu kami tidak lupa
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalampembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari itu, kami menyadari
sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusunan bahasanya maupun segi
lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka
selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami.
Semoga makalah ini memberikan informasi dan
manfaatpengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuhuan bagi kita semua.
Bandung, 5 Oktober 2015
21 Dzuhizah 1436
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengkaji filsafat Islam tidak semudah
membalikan tangan, ia sarat dengan muatan teologis dan historis. Secara historis,
tarik-menarik kepentingan bahwa orintasi filsafat itu berasal dari Yunani atau
dari Islam adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Begitu pula, dalam tataran
teologis, penerimaan filsafaat kerap berbenturan antara keimanan dan pemikiran
liberal filsafat.
Ssaling mengklaim antara ilmuan Barat
dan Islam menjadi lembaran panjang filsafat, misalnya Oliver Leaman yang
berpendapat bahwa filsafat Yunani sebenarnya pertama kali diperkenalkan kepada
dunia lewat karya-karyanya terjemahan bahasa Arab, lalu ke dalam bahasa Yahudi
dan baru kemudian dalam bahasa Latin atau langsung dar bahasa Arab ke bahasa
Latin. Berbeda dengan Al-Farabi yang berpendapat bahwa filafat berasal dari
Irak terus ke Mesir dan ke Yunani, kemudian diteruskan ke Syiria dan sampai ke
tangan orang-orang Arab.
Dalam tradisi filsafat, agar bisa sampai
pada suatu makna yang esensi dari suatu hal, seseorang harus melakukan
penjelajahan secara radikal, logis dan serius. Itulah sebabnya, Aristoteles
memberikan komentar, “Apabila hendak menjadi seorang filsuf, Anda harus
berfilsafat dan apabila tidak menjadi seorang filsuf, Anda harus berfilsafat”.Adapun
dalam makalah ini penulis akan membahas biografi Al-Farabi dan Pemikiran
filsafat Al-Farabi.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang akan di bahas yaitu,:
1.
Bagaimana
biografi Al-Farabi dan apa saja karyanya?
2.
Bagaimana
filsafat Al-Farabi?
C. Tujuan/Manfaat
Adapun
tujuan/manfaat :
1.
Mengetahui
biografi Al-Farabi dan karya-karyanya.
2.
Mengetahui
pemikiran filsafat al farabi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Farabi
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Muhammad Ibn
Muhammad Ibn Tharkan Ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij. Distrik Farab (sekarang
dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana) Turkinistan pada tahun 257 H (870M).
Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia, dan Ibunya berkebangsaan Turki[1].
Di kalangan orang-orang Latin Abad Tengah, Al-Farabi lebih dikenal sebagau Abu
Nasrh (Abunaser), sedangkan sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab.
Tempat ia dilahirkan[2].
Untuk
memulai karir dalam pengetahuannya, ia hijrah dari negerinya ke kota Baghdad,
yang pada waktu itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia belajar selama
kurang lebih dua puluh tahun. Ia betul-betul memanfaatkan untuk menimba ilmau
pengetahuan kepada: Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta
Ibnu Yunus untuk belajar ilmu mantiq (logika)
Dari
Baghdad Al-Farabi mencba pergi ke Harran sebgai salah satu pusat kebudayaan
Yunani di Asia Kecil. Disana ia berguru dengan Yohana Ibnu Hailan, namun tidak
lama kemudian, ia meninggalkan kot ini untuk kembali ke kota Baghdad. Di sini
kembali mendalami filsafat. Ia juaga mampu mencapai ahli ilmu mantiq (logika),
kemudia ia mendapatkan predikat Guru
Kedua, maksudnya, ia adalah orang yang pertama kali memasukan ilmu logika
ke dalam kebudayaan Arab. Keahlian ini rupanya yang dialami oleh aristoteles
sebagai Guru Pertama, ia
(Aristoteles)orang yang pertama yang menemukan ilmu logika.
Pada
tahun 350 H. (941 M), Al-Farabi pindah ke Damsyik. Ia menetap di kota ini,
kedudukan Al-Farabi sangat diperhatikan secara baik oleh Saif Al-Dullah,
kholifah dinasti Hamdan di Allepo (Hallab). Sampai wafat Al-Farabi berusia 80
tahun. Pengalaman selama di istana Siaf Al-Dullah, Al-Farabi dapat
mengembangkan ilmunya dengan para sastrawan, ahli bahasa, para penyair dan ilmu
lainnya. Menjadilah ia filosuf yang terkenal pada masanya di istana ini. Dalam
kepandaian Al-Farabi di bidang filsafat, membawa pengaruh terhadap kemajuan
pemerintah Saif Al-Dullah, sebagaimana Al-Kindi yang dapat mencermelangkan
pemerintahan Al Mu’tasyim. Riwayat lain yang dikemukakan oleh Dr. Fuad Al
Ahwani bahwa Al-Farabi masuk ke Istana pemerintahan Sai Al-Dullah dengan
pakaina sufi.
Pemikiran
Al-Farabi pun datang banyak dari para ahli. Diantaranya Massignon (ahli masalah
ketimuran dari Prancis), bahwa Al-Farabi merupakan merupan filosuf Islam yang
pertama, dan Al-Kindi adalah orang yang membuka pintu filsafat Ynani bagi dunia
Islam, akan tetapi persoalan-persoalan yang memuaskan. Akan tetapi Al-Farabi
telah menciptakan suatu sistem filsafat yang lengkap. Bahkan Al-Farabi dapat
memerankan peranan penting di dunia Islam. Dalam pengembangan keilmuannya agar
dapat meluas, ia telah memberikan keilmuannya kepada , Ibnu Sina, Ibnu Rasyd
serta filosuf-filosuf lainnya.
Karya
Al-Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah
dengan jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek yang berbentuk risalah
dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam
pembicaraannya. Sebagai karangan Al-Farabi masih diketemukan dibeberapa
perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan mengabadikan namanya.
Ciri khas tertentu yang ada pada karangannya adalah bukan saja mengarang kitab
besar atau makalah-makalah, namun juga memebri ulasan-ulasan dan penjelasan
terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraudismy, dan Plotinus.[3]
Al-Farabi
yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak
bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi,
kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantiq. Oleh karena itu,
banyak karya yang ditinggalkan Al-Farabi, namun karyanya tersebut tidak banyak
diketahui seperti karya Ibnu Sina. Hali ini karena karya-karya Al-Farabi hanya
berbentuk risalah-risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa buku
besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya yang hilang, dan yang
masih dapat dibaca dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun tidak,
kurang lebih 30 judul saja. Diantar judul karyanya adalah sebagai berikut:
1. Al-Jam baina Ra ‘ayay Al-Hikimain Aflathun wa
Arishur;
2. Thaqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da
Ath-Thabi’ah;
3. Syara Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani;
4. At-Ta’liqat;
5. Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi
Al-Falsafah;
6. Kitab Tahsil As-Sa’adah;
7. Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah;
8. ‘Uyun Al-Masa’i;
9. Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
10.
Maqalat fi
Ma’ani Al-Aql;
11.
Ihsa Al-Ulum wa
At-Ta’rif bi Aghradita;
12.
Fushul AlHukm;
13.
Risalah Al-Aql;
14.
As-Syiasah
Al-Madaniyah;
B. Filsafat Al-Farabi
1. Rekonsiliasi Al-Farabi
Al-Farabi
telah berhasil mengrekonsiliasikan
beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles dan
juga juda antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal filosof
sinkretisme yang mempercaya kesatuan filsafat.
Al-Farabi
berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya satu,
yaitu sama-sama mencari kebenaran yang satu, karena tujuan filsafat ialah
memikirkan kebenaran sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada
hakikatnya. Justru semua aliran filsafat
pada prinsipnya tidak ada
perbedaan. Kalaupun berbeda, hanya pada lahirnya. Upaya ini terealisasikan
ketika ia mendamaikan pemikiran Aristoteles dengan Plato dalam bukunya yang
populer al-Jam ‘bain al-Ra’yai al-Hakimain. Dan antara filsafat dan
agama
Cara
Al-Farabi menyatukan kedua filosof di atas ialah dengan mengajukan pemikiran
masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya. Setiap dalam pembicaran
masalah idea yang menjadikan bahan bahasan polemik antara Aristoteles dan
Plato. Filosof yang disebut pertama yang tidak dapat membenarkannya karena,
menurutnya, alam idea hanya terdapat dalam pikiran. Sedangkan fiosof yang
disebut kedua mengakui adanya dan berdiri sendiri.
Untuk
mempertemukan kedua filosof ini, Al-Farabi menggunakan interpretasi batini,
yakni dengan menggunakan takwil apabila ia menemukan pertentangan pikiran
antara keduanya. Kemudian, ia tegaskan lebih lanjut, sebenarnya Aritoteles
mengakui alam rohani yang teradapat diluar alamini dan perkataannya yang
mengingkari alam rohani tersebut dapat ditakwilkan. Jadi, kedua filosof
tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada Zat Allah.
Sebenarnya,
Al-Farabi telah keliru menganggap tidak terdapat perbedaan antara Aristoteles.
Padahal, sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus, yang berisikan
penetapan ala idea terletak bukan pada benda. Dengan demikian, pada hakikatnya
Al-Farabi merekonsiliasikan antara plato dan Plotinus, bukan antara Plato dan
Aristototeles.
Disamping
itu telihat pula usaha Al-Farabi merekonsialisasikan antara agama dan filsafat.
Menurutnya para filosof Muslim menyakini, Al-Quran dan hadits adalah hak dan
benar dan filsafat juga adalah benar. Kebenaran itu tidak boleh lebih dari
satu. Justru itu ia tegaskan bahwa antra keduanya tidaklah bertentangan, bahkan
mesti cocok dan serasi karena sumber keduanya sama-sama dari Akal Aktif, hanya
yang berbeda cara memperolehnya. Bagi filosof perantaranya Akal Mustafad,
sedangkan dalam agama perantaranya wahyudisampaikan kepada nabi-nabi. Kalau ada
perlawanan, itu hanya dari segi lahirnya dan tidak sampai menembus batinnya.
Untuk menghilangkan perlawanan itu harus dipakai takwil filosofis dan tidak
meninggalkan pertentangan kata-kata. Filsafat memberikan kebenaran dan agama
juga menjelaskan kebenaran. Oleh kaena itu, Al-Farabia tidaklah berbeda
kebenarannya yang disampaikan para nabi dengan kebenaran yang dimajukan
filosof, dan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani. Akan tetapi, hal ini
tidak berarti Al-Farabi menerima kelebihan filsafat dari agama.
2. Ketuhanan
a. Pemikiran Tentang Tuhan
Al-Farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengkompromikan anatara
filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal (wujud
pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Bentuk filsafat neo-Platonisme
sendiri praktis telah melaksanakan penyatuan filsafat plato dan Aristoteles
dalam dirinya. Konsep Al-Farabi ini tidak bertentangan dengan keesaan yang
mutlak dalam ajaran Islam. Dalam membuktikan adanya Allah Al-Farabi
mengemukakan dalilWajibul al-Wujud dan Mumkin al-Wujud ( De Boar,
1954:162).
Dengan demikian Al-Farabi membagi wujud kepada dua bagian, yaitu:
1) Wujud yang nyata dalam sendirinya (Wajibul-wujud li
dzatihi).
Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya.
Esensinya adalah wujud yang sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak
terjadi karena lainnya. Ia ada selamanya, wujud yang apabila diperkirakan tidak
ada, maka akan timbul kemuslihatan sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi
semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
2) Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena
lainnya
(wajibul-wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan
ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya
bisa wujud dan bisa tidak wujud. Atau dengan perkataan lain cahaya adalah wujud
yang mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata (wajib)karena
matahari.
Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya
sebabyang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada
sesuatu wujud yang nyatadan yang pertama kali ada. Bagaimanapun juga
panjangnyarangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada
sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa
memberi wujud kepada dirinya sendiri[5].
Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa sesuatu sebab, kalu ada
sebab bagi-Nya, maka adanya Tuhan tidak sempurna tidak lagi, berarti adanya
Tuhan bergantung pada sebab yang lain. Ia wujud yang paling dahulu dan paling
mulia, yang tidak berawal dan tidak berakhir, sebagai sebab pertama berarti
Tuhan tidak ada yang mengawali dan tidak memerlukan yang lain. Wujud-Tuhan
adalah Zat yang paling azali dan yang selalu ada. Wujud-Nya tidak terdiri dar Matter
(benda) dan from (bentuk/surah), yaitu dua bagian pada makhluk.
Karena kesempurnaan itu, maka tidak ada sesuatu yang sempurna yang terdapat
pada selain-Nya.
Tuhan itu Maha Esa, tidak terbatas dalam segala sesuatunya, bila ada
hal-hal yang membatasi berarti Tuhan tidak Esa lagi. Maka Tuhan tidak dapat
dirumuskan sama sekali denagn batasan yang akan memberikan pengertian pada
manusia, sebab suatu batasan berarti suatu penyusunan yang akan
menggunakan golongan dan pembedaan atau digunakan pengertian zat dan bentuk,
seperti memberi definisi kepada sesuatu benda atau barang.
b.
Sifat Tuhan
Dalam metafisikanya tentang ketuhanan Al-Farabi hendak menunjukkan
keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya. Juga dijelaskan pula mengenai kesatuan
antara sifat dan zat (substansi) Tuhan. Sifat Tuhan tidak berbeda dari zat-Nya.
Karena Tuhan adalah tunggal. Juga zat Tuhan menjadi obyek pemikiran sendri
(ma’qul), karena yang mengahalang-halangi sesuatu untuk menjadi obyek pemikiran
ialah benda itu pula. Jadi ia adalah obyek pemikiran, karena ia adalah akal
pikiran. Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan Zat-Nya
sendiri tetapi cukup dengan Zat-Nya itu sendiri pula untuk menjadi obyek
pikiran[6].
Tuhan juga adalah Zat yang MahaMengetahui (‘alim) tanpa
memerlukansesuatu yang lain untuk dapat mengetahui. Jadi Tuhan cukup dengan
zat-Nya sendiri untuk mengetahui dan diketahui. Ilmu (pengetahuan) Tuhan
terhadap diri-Nya tidak lain hanyalah zatnya sendiri juga. Dengan demikian,
maka ilmu dan zat yang mempunyai ilmu adalah satu juga.
Jadi menurut Al-farabi tidak ada perbedaan antara sifat Tuhan dengan zat
(substansi) Tuhan, sifat Tuhan yang berarti juga substansi Tuhan. Tuhan sendiri
sebenarnya akal, sebab segala sesuatu yang tidak membutuhkan benda, maka
sesuatu itu benar-benar akal. Begitu pula denga wujud yang pertama (Tuhan). Zat
(substansi) Tuhan yang satu itu adalah akal (pikiran). Akal adalah zat
(substansi) yang berfikir, tetapi sekaligus juga menjadi obyek pemikiran Tuhan
sendiri.
c. Pembuktian Adanya Tuhan
Dalam membuktikan adanya Tuhan ada beberapa dalil yang dapat digunakan
sebagai dalil ontologi, dalil teologi dan kosmologi. Para pemikir Yunani
menggunakan dalil-dalil tersebut(ontologi, teologi dan kosmologi) untuk samapai
kepada kesimpulan adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir
Islam. Diantar dalil yang banyak dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil
kosmologi menurut istilah metofisika.
Dalil kosmologi melihat alam sebagai makhluk suatu akibat yang terakhir
dalam rangkaian sebab akibat. Pada akhirnya hubungan sebab akibat akan berhenti
pada satu sebab pertama, karena pada dasarnya kita tidak dapat memikirkan
adanya rentetan sebab akibat yang tidak berkesudahan (berkeputusan). Al-Farabi
dalam membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil penciptaan ini.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan,
pertama asda sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin, kedua ada
sebagai keharusan disebut dengan wujud yang wajib. Dalam keadaan yang
pertama adanya ditentukan oleh ada yang lain, dan keadaan yang kedua adanya
tanpa sesuatu yang lain ada dengan sendirinya dan sebagai keharusan.
[7]Pembuktian dengan dalil kosmologi seperti yang
dilakukan oleh Al-Farabi termasuk dalil yang sederhana mudah dimengerti, tetapi
kelemahan dalil ini berpangkal dari suatu keyakianan yang mengharuskan adanya Tuhan.
3. Emanasi
Al-Farbi manemui kesulitan dalam
menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak (alam( yang bersifat materi dari
Yang Maha Esa (Allah) jauh dari arti ateri dam Maha sempurna. Dalam filsafat
Yunani, Tuhan buakanlah pencipta alam, melaikan Penggerak Pertama (prime
cause), seperti yang dikemukakan Aristoteles. Sementara dalam doktrin
ortodok Islam (al-mutakallimin), Allah adalah Pencipta (shani, Agent),
dari menciptakan dari tiada menjadi ada (ceiro ex nihillo).. unutk mengislamkan
doktrin ini Al-Farabim, juga filosof lainnya mencari bantuan kepada Neoplatonis
monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan penggerak Aristoteles bergeser
menjadi Allah pencipta.. dengan arti, Allah menciptakan alam semenjak alam
azali, energi alam berasal dari energi yang kadim, sedangkan susunan materi
yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu, menurut filosof muslim, kun Allah
yang temaktub dalam Al-Quran di tunjukan kepada syai (sesuatu) bukan kepada Iasyai
(nihil).
Telah
dikemukakan bahwa Allah adalah Aql, Aqil, dan Ma’qul. Ia sebut Allah adalah Aql karena Allah pencipta dan pengatur alam, yang
beredar menurut aturan yang luar biasa rapi dan teratur tanpa cacat sedikitpun,
mestilah suatu subtansi yang memiliki daya berpikir yang luar biasa. Oleh sebab
itu, cara Allah menciptakan alam ialah dnegan ber-ta’aqqul terhadap
zat-Nya dengan proses sebagai berikut.
Allah
Mahasempurna, ia tidak memikirkan dan berhubungan dengan alam karena terlalu
rendah bagi-Nya untuk memikirkan dan berhubungan dengan alam yang tidak sempurna.
Allah cukup memikirkan – membedakan antara term aql dan fikr dalam terminologi Al-Quran—zat-Nya, maka
terciptalah energi yang maha dasyat secara pancaran dan dari energi inilah
terjadinya akal pertama (jugamemandat dalam bentuk materi). Akal pertama
berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kedua dan berpikirkan dirinya
menghasilkan langit pertama. Akal kedia berpikir tentang Allah menghasilkan
Akal ketiga dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan bintang-bintang. Akal ketiga berpikir tentang Allah menghasilkan
Akal keempatdan berpikir tentang dirinya menghasilkan Saturnus. Akal keempat
berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kelima dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan Yupiter. Akal kelima berpkir tentang Allah menghasilkan akal
keenamdan berpikir tentang dirinya menghasilkan Mars. Akal keenam berpikir
tentang Allah menghasilkan Akal ketujuh dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan Matahari. Akal ketujuh berpikir tentang Allah menghasilkan Akal
kedelapan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Venus. Akal kedelapan
berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kesembilan dan berpikir tentang
dirinya menghasilkan Merkuri. Akal kesembilan berpikir tentang Allah
menghasilkan Akal kesepuluh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Rembulan.
akal kesepuluh, karena adanya akal ini sudah lemah, maka ia tidak dapat lagi
menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh, dan metri
pertama menjadi dasar keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah. Akal
kesepuluh ini disebut dengan Akal Fa’al (Akal aktif) atau wahib al-shuwar
(pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang mengurusi kehidupan di bumi.
Akal-akal
dan planet-planet itu terpancar secara beruntutan dalam waktu yang sama. Hal
ini dapat terjadi karena dalam Allah berpikir tentang diri-Nya, dissebutkan,
menghasilkan daya atau energi.
Kalau
pada Allah hanya terdapat satu objek pemikiran, yakni zat-Nya, sedangkan pada
akal-akal erdapat objek pemikiran Allah dan akal-akal.
Di
sini yang perlu dipertanyakan, faktor apa yang mendorong Al-Farabi mengemukakan
emanasi ini? Tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan Allah, bahkan
melebihi Al-Kindi. Allah bukan hanya dinegasikan dalam artian ‘aniah dan
mahiah, tetapi juga lebih jauhlagi. Allah adalah Esa sehingga tidak mungkin
Ia berhubungan dengan yang tidak Esa atau yang banyak. Andaikan alam diciptakan
secara langsung oleh Allah, maka mengakibatkan Ia berhubungan dengan yang tidak
sempurna dan ini akan menodai keesaan-Nya oleh sebab itu, dari Allah hanya
timbul satu, yakni Akal pertamaberfungsi sebagai mediator antara Yang Esa dan
banyak sehingga dapat dihindarkan hubungan antara Ynag Esa dan yang banyak.
Emanasionisme
Al-Farabi ini jelas cangkokan doktrin Platonius yang dikombinasikan dengan
sistem kosmologi Platomeus sehingga menimbulkan kesab bahwa Al-Farabi hanya
mengalihbahasakan dari bahasa sebelumnyake dalam bahasa Arab. Menurut
Nurcholish Majid, Al Farabimempelajari dan mengambil ramuan asing ini terutama
paha ketuhanannya memberikan kesan tauhid.[8]
4. Kenabian
Filsafat
kenabian Al-Farabi erat kaitannya antara nabi dan filosof dalam kesanggupanya
untuk mengadakannya komunikasi dengan akal fa’al. Motif lahirnya filsafat
Al-Farabi ini disebabkan adanya
pengingkaran terhadap eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ahmad Inu Ishaq Al-Ruwandi (w. Akhir abad
III H). Tokoh yang berkebangsaan Yahudi ini menurunkan beberapa karya tulis
yang isinya mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad Saw.
Khususnya kritiknya ini dapat dideksripsikan sebagai berikut:
a.
Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia, karena Tuhan telah
mengaruniakan akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat
mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nyadan dapat pula mengetahui perbuatan
baikm dan buruk.
b.
Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya
thawaf di Ka’bah, dan sa’i di Bukit Shafa dan Marwah dengan
tempat-tempat lain.
c.
Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan
manusia.
d.
Al-Qur’an bukanlah Mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (Al-khawariqal-adat).
Orang yang non Arab jelas saja heran dengan balaghah Al-Quran, karena
mereka tidak kenal dan memgerti Bahsa Arab dan Muhammad adalah kabilah yang
paling fasahah dikalangan orang Arab.[9]
Dalam suasana yang demikian, Al-Farabi merasa terpanggil untuk menjawab
tantangan tersebut. Karena kenabian adalah asa sentral dalam agama, apabila ia
telah batal, maka akibatnya membawa kebatalan pada agama itu sendiri.
Al-farabi adalah filosof muslim pertama yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak
ada penambahan oelh filosof-filosof sesudahnya. Filsafatnya ini didasarkan pada
psikologi dan metafisika yang erat hubungannya denga ilmu politik dan etika.
Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al (Jibril)
melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau
inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang
dapat menembus alam materi dan dapt mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara
kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Telah dimaklumi bahwa ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi waktu
tidur dan waktu bangun. Dengan kata lain, dalam bentuk impian yang benar atau
wahyu. Perbedaan keduanya hanya terletak pada tingkatannya dan tidak mengenai
esensinya. Mimoi yang benar tidak lain adalah satu tanda dari tanda kenabian.
Menurut Al-Farabi, bila kekuatan imajinasi pada seseorang kuat sekali,
oobjek indrawi dari luar tidak akan dapat mempengaruhinya sehingga ia dapar
berhubungan dengan akal fa’al. Apabila kekuatan imajinasinya telah mencapai
taraf kesempurnaan, tidak ada halangan bainya menerima peristiwa-peristiwa
sekarang atau mendatang dari Akal Fa’al pada waktu bangun. Dengan adanya
penerimaan demikian maka ia dapat nubuwwat terhadap perkara-perkara
ketuhanan.
Jadi, ciri khas seorang nabi oleh Al-Farabi ialah mempunyai daya
imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Aka; Fa’al ia dapat menerima
visi dan kebenara-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyutidak lain adalah limpahan
dari Allah melalui Akal Fa’al (Akal kesepuluh) yang dalam penjelasan Al-Farabi
adalah Malaikat Jibril. Sementara itu filosof dapat berkomnikasi dengan Allah
melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga
sanggup menangkapn hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.
Sampai
di sini terkesan bahwa kenabian telah menjadi suatu yang dapat diusahakan (muktasabat).
Akan tetapi, jika diamati secaa cermat; kesan ini meleset sama sekali. Hal ini
disebabkan nabi adalah pilihan Allah dan komunikasinya dengan Allah bukan
melalui Akal mustafad, tetapi melalui akal dalam derajad materiil. Seorang nabi
dianugrahi Allah akal yang mempunyai daya tangkap yang luas biasa sehingga
tanpa latihan dapat mengadakan komunikasi langsung dengan akal kesepuluh
(Jibril). Akal ini mempunyai kekuatan suci (qudsiyyat) dan di beri nama hads.
Tidak ada akal yang lebih kuat
daripada demikian dan hanya nabi-nabi yang memperoleh akal seperti itu.
Sementara itu, filosof dapat berhubungan dengan akal kesepuluh adalah usaha
sendiri, melalui latihan dan pemikiran. Seorang filosof hanya memiliki akal
mustafad (perolehan) lebih rendah dari pada nabi yang mempunyai akal meteriil
dan hads. Oleh karena itu, setiap nabi adalah filosof dan tidak semua filosof
itu nabi. Akan tetapi, filosof tidak bisa menjadi nabi, yang selamanya ia
(nabi) tetap manusia Allah.
Dari
sisi pengetahuan dan sumbernya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
antara filosof dan nabi terdapat kesamaan. Oleh karena itu, Al-Farabi
menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat
sebab antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal
Fa’al (Jibril). Demikian pula dengan mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut
Al-Farabi, dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam karena sumber
hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari Akal kesepuluh sebagai pengatur
dunia ini.
Dari
uraian di atas telihat keberhasilan Al-Farabi dalam menjelaskan kenabian secara
filosofis dan menafsirkannya secara ilmiah yang dapat dikatakan tiada duanya,
terutama di “pentas” filsafat Islam.[10]
5. Kenegaraan dan Polotik
Manusia menurut Al-Farabi seperti halnya Plato, Aristoteles dan ibn Abi
Rabi’, bersifat sosial yang tidak mugkin hidup sendiri-sendiri. Makhluk yang
berkecenderungan alami untuk hidup bermasyarakat dan bantu-membantu untuk
kepentingan bersama dalam mencapai tujuan hidup, yakni kebahagiaan. Hal
ini karena manusia tidak mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri tanpa
bantuan atau kerja sama denagn pihak lain.
Pendapat Al-Farabi tentang tujuan hidup bermasyarakat memperlihatkan
pengaruh keyakinan agamanya sebagai seorang muslim, di samping pengaruh tradisi
Plato dan Aristoteles yang mengaitkan politik dengan moralitas dan etika.
Al-Farabi membagi masyarakat ke dalam dua macam, yakni
a. Masyarakat sempurna, masyarakat sempurna
diklasifikasikan menjadi:
1. Masyarakat sempurna besar, adalah gabungan banyak
bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama
(perserikatan bangsa-bangsa).
2. Masyarakat sempurna sedang, adalah masyarakat yang
terdiri atas satu bangsa yang menghuni disatu wilayah dari bumi ini (negara
nasional).
3. Masyarakat sempurna kecil, adalah masyarakat yang
terdiri atas para penghunisatu kota (negara kota).
b. masyarakat tidak sempurna atau belum sempurna,
adalah penghidupan sosial di tingkat desa, kampung, lorong dan keluarga.
Selanjutnya, di antara tuga bentuk penghuni sosial itu, keluarga merupakan yang
paling tidak sempurna.
Perkembangan dari tidak/kurang sempurna menjadi sempurna menurut
Al-Farabi bertingkat-tingkat. Mula-mula, masyarakat manusia berupa masyarakat
yang terbesar, lalu menjadi masyarakat desa dan kampung, kemudian menuju ke
masyarakat kota yang sempurna dan berpemerintahan. Al-Farabi berpandangan bahwa
masyarakat sempuna itu ialah masyarakat yang mengandung keseimbangan diantara
unsur-unsrunya. Perbedaannya hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu
mempunyai kebebasan individual yang lebih besar maka dalam diri manusia
unsur-unsur itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatnya.
Pandangan ini didasari oleh pemikiran filsafatnya bahwa manusia tidak
sama satu sama lainnnya, disebabkan bnayak faktor, antara lain: faktor iklim
dan lingkungan tempat mereka hidup, dan faktor makanan. Faktor-faktor tersebut
banyak berpengaruh dalam pembentukan watak, pola pikir dan perilaku, orientasi
atau kecendurangan serta adat kebiasaan.
Berbeda dengan Al-Farabi, Ibu Sina (370-425H/980-1033M) mempumyai
pandangan berbeda-bedanya manusia dengan sesamanya adalah “anugrah Tuhan” yang
dijadikannya untuk memelihara keselamatan hidup dan perkembangan kemajuan
hidupnya.jika semua manusia bersamaan dalam segala hal, pasyilah membawa
kemusnahan mereka.
Dalam hal filsafat kenegaraan, Al-Farabi membedakan negara menjadi liama
macam:
1. Negara utama (al-Madinah al-Fadhilah ) yaitu
negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Menurutnya negara terbaik
adalah negara yang dipimpin oleh rosul dan kemudian oleh para filosof.
2. Negara orang-orang bodoh ( al-Madinah
al-Jahilah ), yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
3. Negara orang-orang fasiq ( al-Madinah al-Fasiqah
) yakni negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan dan akal (
fa’alal-Madinah al-Fadilah ) tetapi tingkah laku mereka sama dengan
penduduk negeri yang bodoh.
4. Negara yang berubah-ubah( al-Madinah al-Mutabaddilah
) ialah yang penduduknya semula mempunyai fikiran dan pendapat seperti yang
dimiliki negara utama tetapi kemudain mengalami kerusakan.
5. Negara sesat ( al-Madinah al-Dallah ), yaitu
negara yang penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran yang salah tentang Tuhan
dan akal fa’al, tetpi kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu
dan kemudian menipu orang banyak denagn ucapan dan perbuatan.
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi
dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur negaranya. Disini nyata teori
kenegaraan iti paralel dengan filsafat mettafisikanya tentang kejadian alam (
emanasi yang bersumber pada yang satu ). Al-Farabi menegaskan bahwa negeri yang
utama adalah negeri yang memperjuangkan kemakmuran dan kebhagiaan warga
negaranya.
Al-Farabi berpendapat, ilmu polotik adalah ilmu
yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif
dan akhlak. Kebahagiaan manusia diperoleh karena perbuatan atau tindakan dan
cara hidup yang dijalankannya. Al-Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang
hakiki (sebenanya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang (di dunia ini),
tetapi sesudah kehidupan sekarang yaitu kehidupan akhirat. Namun sekarang ini
juga ada kebahagiaan yang nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan, dan
kesenangan yang dapat nampak dan dijadikan pedoman hidup.
Ada dua macam prolem politik yaitu:
1. Pemerintah atas dasar penegakkan terhadap
tindakan-tindakan yang sadar, cara hidup, disposisi positif dasar ini dapat
djadikan upaya untuk mendapat kebahagiaan. Pemerintah atas dasar demikian
disebut pemerintah utama, dimana sebagai ciri kota-kota dan bangsa-bangsanya
tunduk terhadap pemerintah.
2. Pmerintah atas dasar penegakkan terhadap
tndakan-tindakan dan watak-watak dalam rangka mencapai sesuatu yang diperkirakan
mendapat suatu kebahagiaan, maka muncul beraneka ragam bentuk pemerintah,
apabila yang dikejar kejayaan semata dapat dianggap sebagai pemerintah yang
rendah, jiak mengejar kehormatan, disebut pemerintah kehormatan, dan
pemerintahan bergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.
Tujuan lain dari filsafat politik Al-Farabi
adalahpembentukan pemimpin-pemimpin politik yang handalpemimin politik memiliki
fungsi sebagai dokter yang menyembuhkan jiwa sehingga dengan kepemimpinannya
jiwa masyarakat akan selalu sehat terutama dalam meraih sesuatu yang baikdan
menghindar dari yang jahat. Kemampuan politisnya harus digunakan untuk menjaga
nilai-nilai yang mampu mengembangkan masyarakat.[11]
6. Jiwa
jiwa
manusia berasal dari materi asalnya memancar dari akal kesepuluh. Jiwa adalah jauhar
rohani sebagai from bagi jasad.
Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya
masing-masing keduany mempunyai sebstansi yang berbeda dan binasanya jasad
tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs
al-nathiqal, berasal dari alam
ilahi, sedanglan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk berupa, berkadar, dan
bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Bagi
Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a. Daya
al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara,
dan berkembang.
b. Daya
al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang medorong untuk merasakan dan
berimajinasi.
c. Daya
al-Nathiqat (bepikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara
teoritis dan praktis.
Daya
teoritis terdiri dari tiga tingkatan berikut.
1. Akal Potensial (al-Hayulani), ialah akal yang baru
mempunyai potensi berpikir dalam arti; melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk
dari materinya.
2. Akal Aktual (al-Aql bi al-fil), akal yang dapat melepaskan
arti0arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyau wujud dalam akal
dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi telah dalam bentuk
actual.
3. Akal Mustafad (al-Aql al-Mustaafad), akal yang telah
dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan
mempunyai kesanggupan untuj mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh.
Tentang bahagia dan
sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan filsafat Negara utama, yakni jiwa yang
kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa ini, menurut
Al-Farabi, akan kembali kea lam nufus, (alam
kejiwaan) dan abadidalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada Negara fasiqahi, yakni jiwa yang kenal dengan
Allah, tetapi ia tidak melaksanakan segala perintah allah, ia kembali kealam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam
kesengsaraan. Sementara itu, jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni yang tidak kenal dengan Allah dan tidak pernah
melakukan perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan.[12]
7. Akal
Telah
disebutkan bahwa akal, menurut Al-Farabi, ada tiga jenis, pertama, Allah
sebagai Akal; kedua, akal-akal
dalam filsafatemanasi satu sampai sepuluh dan ketiga, akal yang terdapat
dalam diri manusia. Akal pada jenis pertama dan kedua tidak berfisik
(imateri/rohani) dan tidak menempati fisik, namun antara keduanya terdapat
perbedaanyang sangat tajam. Allah sebagai Akal adalah Pencipta dan
Esasemutlak-mutlaknya, Mahasempurna dan tidak mengandung pluralitas sebagai zat
yang Esa, maka objek ta’aqqul Allah hanya satu, yakni Zat-Nya. Jika
diandaikan objek ta’aqul Allah lebih dari atu, maka pada pada diri Allah
terjadi pluralitas. Hal ini bertentangan dengan prinsip tauhid. Demikian juga
Allah Maha Sempurna tidak berhubungan dengan selain diri-Nya. Jika dikatkan
Allah berhubungan dengan selain diri-Nya, berarti ia berhubungan dengan yang
tidak sempurna. Hal ini juga merusak citra tauhid. Atas dasar inilah Al-Farbi
menjelaskan bahwa materi asal deiciptakan Allah dari sesuatu yang sudah
ada dan diciptakan secara emanasi sejak azali, karena sifat Khalik Allah ada
sejak Ia wujud (bukan berarti Allah didahului dari tidak ada) dan semenjak itu
pula ia langsung menciptaka. Dari hasil ta’aqqul-Nya muncul dua, berarti Allah mempunyai dua sisi
yang pluralitas.
Adapun
jenis akal yang kedua yakni akal-akal pada filsafat emanasi, akal pertama esa
pada zatnya, tetapi dalam dirinya mengandung keenakpotensial. Ia diciptakan
oleh Allah sebagai Akal maka objek ta’aqqul-Nya (juga akal-akal lainnya)
tidaklah lagi satu, tetapi sudah dua; Allah sebagai Wajib al-Wujud dan
dirinya sebagai mukmin al-wujud. Telah dikemukakan ada sepuluh akal dan
sembilan planet. Akal kesepulul (Akal Fa’al), disamping melimpahkan kebenaran
kepada para nabi dan filosof, juga berfungsi mengurusi bumu dan segala isinya.
Juga telah disebutkan bahwa pendapat Al-Farabi tentang sembilan planet
terpengaruh oleh Atronomi Yunani saat itu yang mengatakan sembilan planet.
Akal
jenis ketiga ialah akal sebagai daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
Akal jenis ini juga tidak berfisik, tetapi bertempat pada materi. Akat ini
bertingkat-tingkat, terdiri dari akal potensial, akal aktual, dan akal
mustafad. Akal yang disebutkan terakhir.ini yang dimiliki para filosof yang
dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam materi melalui Akal kesepuluh
(Akal Fa’al)
Demikian
tentang uraian Al-Farabi, kendati ia terpengaruh oleh filsafat Aristoteles,
plato, dan platonius, namun ia telah berhasil mengembangkan dan memperdalamnya
sehingga dapat dikatakanhasil filsafatnya sendiri. Selain itu, ia juga
menciptaka filsafat sendiri yang belum dibicarakan oleh filosof Yunani. Dengan
demikian, ia telah menghasilkan filsafat Islam yang mempunyai watak dan ciri
khas tersendiri. Secara umum, dapat dilihat bahwa filsafat Al-Farabi begitu
kompleks sehingga dapat dibicarakan oleh para filosof muslim sesudahnya hampir
sudah pernah disinggung oleh pewaris logikaAristoteles ini. Melihat ketajaman
pisau analisis dan kepiawaian serta kedalaman filsafatnya, sangat pantas ia
menerima segudang anugrah sanjungan dari berbagai pihak, seperti Al-Farabi alah
filosof muslim terbesar tanpa tanding, Al-Farabi adalah filosof Muslim dalam
arti yang sesungguhnya, Al-Farabu adalah peletak dasar filsafat Islam, dan
lain-lainnya.[13]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nama
lengkap Al-Farabi adalah bu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tharkan Ibn Auzalagh. Ia
lahir di wasij. Distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana)
Turkinistan pada tahun 257 H (870M). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan
Persia, dan Ibunya berkebangsaan Turki[14].
Di kalangan orang-orang Latin Abad Tengah, Al-Farabi lebih dikenal sebagau Abu
Nasrh (Abunaser), sedangkan sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farb.
Tempat ia dilahirkan.
Al-Farabi
yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak
bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi,
kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantiq. Oleh karena itu,
banyak karya yang ditinggalkan Al-Farabi, namun karyanya tersebut tidak banyak
diketahui seperti karya Ibnu Sina. Hali ini karena karya-karya Al-Farabi hanya
berbentuk risalah-risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa buku
besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya yang hilang, dan yang
masih dapat dibaca dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun tidak,
kurang lebih 30 judul saja. Diantar judul karyanya adalah sebagai berikut:
1. Al-Jam baina Ra ‘ayay Al-Hikimain Aflathun wa
Arishur;
2. Thaqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da
Ath-Thabi’ah;
3. Syara Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani;
4. At-Ta’liqat;
5. Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi
Al-Falsafah;
6. Kitab Tahsil As-Sa’adah;
7. Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah;
8. ‘Uyun Al-Masa’i;
9. Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
10.
Maqalat fi
Ma’ani Al-Aql;
11.
Ihsa Al-Ulum wa
At-Ta’rif bi Aghradita;
12.
Fushul AlHukm;
13.
Risalah Al-Aql;
14.
As-Syiasah
Al-Madaniyah;
15.
Al-Masa’il
Al-Falsafiyah wwa Al-Ajwibah Anha.
Adapu
pemikiran Filsafat Al-Farabi ialah tentang :
1. Rekonsiliasi
Al-Farabi
2. ketuhanan
3. emanasi
4. Kenabian
5. Kenegaraan
6. akal
7. Jiwa
A
DAFTAR PUSTAKA
Dedi
Supriyadi, 2009, “Pengantar Filsafat Islam”, (Bandung: CV Pustaka Setia)
Hasyim
Nasution, 2002, “filsafat Islam”. (Jakarta: Gaya Media Pratama)
Mustofa,
2009, “Filsafat Islam”, (Bandung: CV
Pustaka Setia)
Poerwanto
dkk, 1988, “Seluk-beluk Filsafat Islam”. (Bandung: Rosdakarya)
Sajudin
, 2012, “filsafat Islam”, (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada)
Sudarsono,2010,
“Filsafat Islam”, (jakarta: Rineka Cipta)
[1]
Hasyim Nasution, 2002, “filsafat Islam”. (Jakarta: Gaya Media Pratama).
Hal 32
[2]
Poerwanto dkk, 1988, “Seluk-beluk Filsafat Islam”. (Bandung:
Rosdakarya). Hal 133
[3]
A. Mustofa, 2009, “Filsafat Islam”,
(Bandung: CV Pustaka Setia) hal. 125-127
[4]
Dedi Supriyadi, 2009, “Pengantar Filsafat Islam”, (Bandung: CV Pustaka
Setia). Hal 83-84.
[5]
Sudarsono,2010,
“Filsaft Islam”, (Jakarta: Rineka Cipta). Hal 33
[6]Hasan basri & Zaenal Mufti , 2009, “Filsafat
Islam”, (Bnadung, CV. Insan Mandiri)
[7]Sudarsono,2010,
“Filsafat Islam”, (jakarta: Rineka Cipta). Hal 37-38
[8]
Ibid,.. hal 74-77
[9]
H. sirajudin , 2012, “filsafat Islam”,
(Jakarta: PT Rajagrapindo Persada).
Hal 78-79
[10]
Ibid,.. hal 79-81
[11]
.
Supriyadi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia). Hal
96-98.
[12]
H. sirajudin , 2012, “filsafat Islam”,
(Jakarta: PT Rajagrapindo Persada) hal 87-88
[13]
H Sirajuddin,.. Ibid,.. hal 88-90.
[14]
Hasyim Nasution, 2002, “filsafat Islam”. (Jakarta: Gaya Media Pratama).
Hal 32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar